• Breaking News

    Glest RadioSini...::...Iklankan Produk dan Usaha Anda di www.glestradio.com atau di Glest Radio ...::...Anda Sedang Mendengarkan Glest Radio Streaming, yang dipancarluaskan dari Graha Glest - Tangerang - Banten....::...GLEST GO Green...:::...Mau Pasang iklan Di Glest Radio atau situs glestradio.com silahkan Klik Di Sini

    Nunun Diduga Lakukan Perlawanan Hukum

    Glest Radio.comJakarta - Rencana peradilan terhadap upaya pemulangan tersangka kasus cek pelawat, Nunun Nurbaeti, dinilai tidak lazim. Langkah tersebut biasanya dilakukan jika seorang terangka kasus kejahatan melakukan perlawanan. “Ini tidak lazim,” ujar Pengamat Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, dihubungi, 6 Juni 2011.

    Menurut Hikmahanto, ekstradisi terhadap tersangka kasus kejahatan merupakan wilayah kewenangan lembaga eksekutif. Proses tersebut berjalan melalui mekanisme G to G yang ditindaklanjuti melalui otoritas lembaga yang diberikan mandat menindaklanjuti permohonan tersebut. “Kalau di Indonesia ditindaklanjuti Kementerian Hukum,” ujarnya.

    Dalam tradisi hukum internasional, kata dia, keterlibatan lembaga legislatif lazim berlaku jika tersangka kasus kejahatan melakukan upaya perlawanan terhadap rencana ekstradisi. Hal mana pernah dilakukan tersangka kasus BLBI, Hendra Raharja. “Dia menolak dipulangkan ke Indonesia dan dikabulkan pemerintah Australia,” ujarnya.

    Upaya pemulangan Nunun Nurbaeti dikabarkan akan melibatkan otoritas peradilan Thailand. Istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI, Adang Daradjatun yang tengah menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi atas keterlibatannya dalam kasus pemberian cek pelawat itu saat ini sedang diupayakan dengan menggunakan jalur diplomatik sejumlah negara ASEAN. KPK bahkan telah meminta pencabutan paspor guna mempersempit ruang geraknya.

    Dengan pencabutan paspor tersebut, Nunun praktis tidak lagi memiliki status kewarganegaraan. Maka negara tempat ia berdomisili dapat memaksanya pulang. Menurut Hikmahanto, proses pemulangan Nunun sebenarnya jauh lebih sederhana jika yang bersangkutan hanya dikenakan kasus pelanggaran administratif. “Prosesnya tinggal deportasi,” ujarnya. Namun ia mengaku tidak mengetahui secara detil bagaimana aturan yang berlaku di Thailand.

    Jika Nunun memang berada di Thailand, kata Hikmahanto, Indonesia sebenarnya bisa menggunakan perjanjian ekstradisi yang ditandatangani sejak tahun 1980. Namun jika ia berada di Kamboja, maka dasar hukum yang digunakan hendaknya merujuk pada pasal 44 dari Konvensi PBB tentang Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption). “Karena kita tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Kamboja,” ujarnya.

    Hikmahanto menjelaskan, Kamboja merupakan Negara Peserta Konvensi PBB Anti Korupsi sejak tahun 2007. Namun, Kamboja sepertinya juga tidak melakukan reservasi (hak untuk tidak memberlakukan ketentuan Konvensi) atas keberlakuan Pasal 44. “Oleh karenanya Kamboja mempunyai kewajiban untuk menyerahkan Nunun bila ada permintaan ekstradisi dari pemerintah Indonesia yang didasarkan pada Konvesi PBB tentang Anti Korupsi,” katanya.

    Pasal 44 ayat 1 menyatakan ekstradisi dapat dimintakan antar negara peserta sepanjang ketentuan di negara dimana orang yang diminta berada mengatur perbuatan yang dilakukan juga merupakan kejahatan korupsi. Dalam perjanjian ekstradisi hal ini yang dikenal sebagai dual atau double criminality. “Adapun prosedur permintaan ada baiknya dilakukan oleh KPK atas permintaan Menkumhan sesuai Pasal 44 UU Ekstradisi yang kemudian difasilitasi oleh Kemlu dan Perwakilan Indonesia di Kamboja,” ujarnya.

    Sebelum diminta ekstradisi, pemerintah Indonesia bisa meminta otoritas Kamboja untuk membantu melokalisasi keberadaan Nunun di Kamboja berdasarkan perjanjian Mutual Legal Assitance ASEAN. “Ini dilakukan bila alamat akurat Nunun tidak diketahui oleh KPK,” katanya.

    RIKY FERDIANTO

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Hosting Unlimited Indonesia
    DomaiNesia

    Feng Shui

    Promo